Resensi Buku “Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia”

Dunia pendidikan pada hakikatnya berfungsi sebagai pembangun sumber daya manusia. Namun sayangnya banyak lembaga pendidikan yang secara tidak sadar justru membunuh potensi siswa-siswa didiknya. Menyamaratakan standar kecerdasan siswa dengan penilaian yang sempit, yaitu pada aspek kognitif saja dapat mematikan potensi, minat, dan bakat siswa lainnya.

Itulah setidaknya kegelisahan akademik penulis yang dituangkan dalam buku yang berjudul sekolahnya manusia ini. Penulis melihat hingga saat ini di Indonesia masih banyak sekolah yang berpredikat sebagai sekolah robot yang cenderung memasung kreatifitas siswa. Akibatnya banyak banyak potensi siswa yang seharusnya dapat dikembangkan justru terabaikan.

Buku ini menawarkan strategi baru dalam pembelajaran yaitu dengan MI (multiple intelligences). Dengan strategi ini guru diajak untuk mengetahui potensi siswa terlebih dahulu dengan mengacu kepada 8 kecerdasan yang ditawarkan oleh Howard Gardner. Setelah mengetahui kecerdasan yang dimiliki peserta didiknya barulah guru mengembangkan potensi siswa dengan pendekatan kecerdasan tersebut.

Andra misalnya, seorang siswa menengah pertama yang dikira oleh gurunya menyandang penyakit autis karena memiliki kelemahan kecerdasan interpersonal (cerdas bergaul) dan linguistik (bahasa). Setelah melewati pembelajaran dengan multiple intelligences ternyata diketahui ia memiliki kelebihan tertentu dalam hal spasial dan visual. Dengan bakat yang dimilikinya tersebut, kemudian dikembangkan dan jadilah ia seorang pelukis ternama di kotanya. (halaman 35)

Penerapan multiple intelligences dalam dunia pendidikan, terutama di Indonesia akan mengalami hambatan besar. Hal ini terutama berkaitan dengan paradigma pendidikan yang masih beranggapan bahwa kecerdasan seseorang dibatasi oleh tes-tes formal dengan skala tertentu. (halaman 70)

Belakangan muncullah tokoh-tokoh yang mengkritisi paradigma tersebut. Penelitian ini membuktikan banyak tokoh-tokoh ternama dunia bahkan memiliki kelemahan cukup parah. Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika pada Perang Dunia ke II contohnya, memimpin negara dengan duduk di kursi roda karena polio. (halaman 79)

Ketika multiple intelligences akan diterapkan di sekolah, yang perlu dilakukan yaitu merubah anggapan bahwa tidak ada anak yang bodoh, sebab setiap anak pasti memiliki minimal satu kelebihan. Apabila kelebihan tersebut dapat dideteksi sejak awal, otomatis kelebihan itu akan menjadi kepandaian sang anak.

Atas dasar itu, seyogyanya sekolah dapat menerima siswa barunya dalam kondisi apapun. Tugas sekolahlah meneliti kondisi siswa secara psikologis dengan mengetahui kecendrungan kecerdasan siswa melalui riset yang dinamakan Multiple Intelligences Research (MIR). (halaman 92)

Data yang diperoleh lewat MIR kemudian dapat dijadikan masukan untuk pelaksanaan pembelajaran kedepannya. Dengan demikian maka pembelajaran akan sangat didasarkan pada kebutuhan siswa. Hal ini tentu sesuai dengan fakta bahwa, banyaknya kegagalan siswa dalam belajar disebabkan oleh ketidaksesuaian gaya belajar guru dengan gaya belajar siswa. Sebaliknya apabila gaya mengajar guru sesuai gaya mengajar siswa, semua pelajaran akan mudah dan menyenangkan.

Inilah sejatinya yang diharapkan Munif Chatib dalam buku sekolahnya manusia. Sekolah yang memanusiakan manusia, dalam arti menghargai setiap potensi yang ada diri siswa. Sekolah yang membuka pintunya pada semua siswa, bukan sekolah yang mendiskualifikasi siswa hanya karena kekurangan tertentu, padahal terdapat kelebihan lain yang dimiliki siswa yang belum terdeteksi.

https://opac.peradaban.ac.id/index.php?p=show_detail&id=446&keywords=SEKOLAHNYA+MANUSIA

Buku ini kiranya penting dibaca terutama bagi praktisi pendidikan. Sehingga dapat memberikan khasanah keilmuan baru menyangkut strategi pembelajaran yang memanusiakan.

Peresensi : Ahmad Zaenuri

Sumber : Kompasiana, 7 Maret 2014   20:34 Diperbarui: 24 Juni 2015 

Posted on: 19/06/2021, by :